Surat Terbuka Untuk Kebodohan Netizen

image
Ibu Saeni... Korban?!

Mengingat pada periode pertengahan juni 2016 lalu tentang Ibu Saeni, penjual warteg di Serang yang dirazia satpol pp karena melanggar perda yang sudah berjalan 6 tahun sebelum kasus itu muncul, menunjukkan keprihatinan pribadi saya terhadap kelakuan netizen dalam konteks yang absurd. Berlomba-lomba menggalang dana membela seorang pelanggar peraturan dengan memutarbalikkan definisi toleransi. Toleransi dimana artinya berubah menjadi:

“perasaan empati yang harus muncul dari diri seseorang yang sedang beribadah kepada orang lain yang tidak sedang menjalankan ibadah”.

Entah ini dunia macam apa dan entah saya sedang berada dimana, ketika saya dipaksa harus melihat seorang pelanggar peraturan untuk dirubah posisinya menjadi korban. Pembentukan logika terbalik yang bloon ini diramu dengan baik oleh media dan bahkan diamini oleh media internasional yang sangat antusias dalam membangun imej buruk terhadap islam melalui isu apapun. Maklum pihak yang katanya internasional itu, sedang sibuk mencari cara melarikan diri dari kewajiban bayar hutang minyak dan ketakutan kebohongan sejarahnya terbongkar.

Menyikapi penggalangan dana dari kaum minoritas dalam melawan perda syariah dengan bersembunyi dibalik melawan kezaliman ini, cukup terasa sentuhan skenario apik yang cukup efektif dalam membumbui kebodohan masyarakat dalam memberdayakan sedikit isi kepalanya. Dengan kata lain, betapa masih sangat mudahnya peluang mengambil keuntungan dari kebodohan masyarakat bebek ini.

Prospek bagus, bro! Masih banyak orang bloon di Indonesia. Besok lo jual aja tinja dengan bumbu kalimat “Tinja itu korban dari hasil keserakahan dan nafsu makan manusia yang tidak dihargai”, pasti laku deh tu orang-orang pada mau keluar uang.

Berita lokal di serang banten pun sudah menyebutkan adanya skenario media dalam membuat sentuhan palsu terhadap rasa iba dengan misi terselubung. Fakta dari deskripsi Ibu Saeni yang ternyata tidak semiskin dalam pemberitaan, sikap pengabaian peraturan dengan alibi tidak bisa membaca selebaran peringatan. Tapi anehnya:

itu warteg bukannya sehari dua hari baru buka dan itu perda bukan sehari dua hari baru ditetapkan. Tidak bisa membaca bukan berarti tidak bisa bersosialisasi dengan masyarakat alias kurang pergaulan sampai tidak tahu ada itu peraturan yang aktif tiap tahun.

Terlepas dari benar atau tidaknya fakta-fakta tersebut, menaruh rasa iba terhadap seorang pelanggar peraturan itu dimana pembenarannya? Mungkin adakalanya sebagai makhluk cerdas bernama Manusia, kita harus membuat segalanya kembali ke logika sederhana yang mungkin terlupakan karena seringnya menyelami pemikiran-pemikiran absurd media dan sekelompok pihak.

Dan kebodohan ini terus berlanjut dengan pembelaan absurd dan tolol dari kelompok yang telah dibodohi atau kelompok yang membuat pembodohan tersebut sukses. Mari kita bahas satu persatu contoh pembelaan dan bandingkan dengan komentar saya terhadap argumentasi-argumentasi tersebut. Silahkan bandingkan mana yang masih normal cara berpikirnya.

Kita sibuk memikirkan orang lain yang tidak puasa atau makan di warteg, sampai lupa bahwa menyebarkan informasi abal-abal yang merugikan orang lain –apalagi di bulan puasa– bukan termasuk cara menunggu maghrib yang diridhoi Tuhan dan mendatangkan amal saleh, BURUH harian menuntut kenaikan upah, dibully karena ada yang punya motor bagus. Pemilik warung menangis karena dagangannya disita, dibully karena KATANYA punya banyak warung dan suaminya bandar judi.
Warga digusur karena tak punya pilihan tempat tinggal dan mengelola kamar petak, dibully sebagai pemukim ilegal dan juragan kontrakan. Pengusaha warteg punya rumah besar, disindir-sindir seolah orang lain tidak boleh makmur dari usaha yang halal. Anda sehat?

– Dandhy Dwi Laksono (Mantan Produser Liputan6 SCTV, Jurnalis)

Komentar saya:

Membantu dan memperjuangkan orang yang mampu itu bukankah tidak lebih prioritas dibandingkan membantu orang yang tidak mampu ya?!

Sumbangan Netizen itu protes n perlawanan thd KEZALIMAN atas nama agama. Bu Saeni korban. Knp korban dipersoalkan?

– Akhmad Sahal (JIL)

Komentar saya:

  • Apa karena adanya peraturan yang hanya melarang berjualan di siang hari selama ramadhan (hanya sekitar 1 bulan) dalam 1 tahun, lantas dengan mudah disebut itu Kezaliman. Itu perda bukan baru saja ditetapkan. Kalau Ibu Saeni dilarang berjualan selamanya dan ketika razia ada penganiayaan secara fisik, saya setuju dengan konsep kezaliman anda. Saking liberalnya, cara berpikirnya pun juga sama liberalnya dengan yahudi yang tidak zalim di palestina. Sebaiknya tentukan dulu konsep mana yang dipilih: konsep berpikir modern atau konvensional.

  • Ibu Saeni, korban? Kenapa dipersoalkan? Persoalannya adalah Ibu Saeni itu pelanggar peraturan. Sejak kapan pelanggar peraturan = korban?

  • Makin gila dunia ini, semua cara dipaksakan demi misi yang terselubung. Anehnya pencetus penggalangan dana si @dwikaputra , pun tidak ada yang mengomentari. Akunnya adem ayem saja seperti tidak terjadi apa-apa. Bila menyalahkan berita di kemudian hari yang konfrontatif terhadap misi jurnalis terselubung karena sumbernya tunggal, tidak terverifikasi benar tidaknya nama suami, saya rasa itu tidak proporsional dan adil. Karena apakah lantas jadi alasan pembenaran dari sikap pembelaan terhadap pelanggar peraturan yang dinobatkan sebagai korban, adalah hanya karena pemberitaan di awal yang sudah masuk televisi dan itu artinya sudah pasti terverifikasi. Konyol.

    Sama konyolnya dengan bilamana anda menolak berita yang konfrontatif terkait “korban yang agung” tersebut, tanpa melihat secara netral hanya karena sudah terlanjur anda bela sampai mati. Sepertinya mirip gaya kolot jaman kerajaan ratusan tahun yang lalu. Gengsi, mudah dalam justifikasi dini, dan menolak kenyataan baru demi prestise. Konsep modern yang labil. Kesian.

    Mari kembali ke logika yang sederhana. Mudah-mudahan dunia nyata segera kembali. Ekosistem makhluk-makhluk aneh biarlah berkembang biak dan doakan biar segera punah. Dan jadikanlah contoh kasus ini sebagai pelajaran dan momok lucu bagi kita yang cerdas dan mampu menggunakan otaknya sehingga bisa hidup dengan tenang dan tidak mudah percaya dengan provokasi yang aneh-aneh.

    (Candra)

    Leave a comment